Langsung ke konten utama

"Dingin Sebelum Sempat Saling Ingin"

Semua mulai berjarak jika sikap mulai berubah. Semua mulai berjarak jika ingin mulai mengalah.
Semua mulai berjarak jika harap mulai pasrah.
Semua mulai berjarak, asing, hingga berbalik arah.

Sebelum sempat menjadi kita, 
jarak hadir sebagai penengah.
Sebelum sempat seiya dalam pinta,
jarak hadir sebagai pemecah.
Sebelum sempat saling ingin, 
kita justru telah saling dingin.

Ya, kita sepakat. Bahwa tentang kita adalah ketidakmungkinan. Bahwa tentang kita adalah kemustahilan. Bagaimana mungkin jika ada yang terlalu, lalu lainnya masih terikat yang dulu? Bagaimana mungkin jika ada yang semakin terjatuh, lalu lainnya masih membatu?

Ya, maka kita telah sepakat sekali lagi.
Tanpa siapa benar dan siapa salah.
Sebelum salah satu semakin terlalu,
maka lebih baik satunya berlalu. 


Komentar

Postingan populer dari blog ini

"Tempat Terbaik Untuk Merapuh"

Tiba-tiba aku ingin ke tempat lama. Pada sore hari sambil merenung akan hal-hal yang telah fana. Di sana, aku ingin menangis tanpa malu, aku ingin berteriak tanpa ragu.  Aku hanya ingin duduk di tepian, menggenggam pasir, dan membuang segala bentuk amarah ke luasnya lautan. Aku akan memutar lagu-lagu paling sendu. Aku akan mencairkan pikiran-pikiran yang sedang kacau. Aku tahu tenangnya lautan dan hangatnya senja adalah tempat terbaik untuk menyendiri. Makanya, aku sering menghabiskan waktu sedihku di sana, menumpahkan kesal dan sesal, lalu kembali mencoba memandang harapan. Dulu, kepada laut aku sering berjanji. Aku tidak akan datang dengan perasaan yang sedih lagi. Aku tidak akan datang seorang diri lagi. Janji yang kuucap seakan terasa tabu, sebab akhirnya selalu palsu. Aku selalu kembali dengan raga dan rasa yang memang sedang tidak baik-baik saja. Bahkan, aku sempat menghindari pantai dan lautnya untuk kabur lalu berpura-pura bahagia. Aku tinggal jauh dalam hirup pikuk kota. A...

"Beberapa Sempat"

Aku sempat merasa kecewa dengan hidup. Dengan harap yang tidak berujung nyata. Dengan cinta yang tidak berujung berdua. Dengan pikiran yang tidak tentu arah. Aku sempat membenci proses hidup. Setiap hari, sulit merasa lega. Setiap saat, sulit merasa tenang. Dan setiap hari kadang dibuat bimbang. Aku sempat tidak suka tersenyum. Untuk hal-hal yang terlalu menggembirakan. Untuk sosok yang membuat jatuh cinta. Untuk perhatian-perhatian yg semu. Aku takut kecewa, jika terlalu sering bahagia. Hingga makin hari, aku selalu berkabung dalam rasa sakit. Dalam rasa-rasa sendiri. Dalam rasa-rasa kesepian. Sebab, aku terlalu menutup diri pada hal yang kian mempesona. Hingga tiba-tiba, tiba di hari ini. Aku terharu bahkan menangis dengan parah. Aku melepas hal-hal menyakitkan sebab aku sadar telah dibersamakan dengan orang-orang baik. Mereka menatapku bangga, penuh cinta. Mereka memelukku erat, tanpa enggan. Aku tidak tunggal. Yang lain mungkin meninggalkan, tetapi masih ada sebagian yang tetap men...

"Akhirnya, Tiba di Titik Ini"

Terima kasih semesta... Aku lega melepas rasa dengan bangga. Tidak akan ada lagi andai dan harap yang sering terucap tentangnya. Tidak akan ada lagi ingin dan doa yang meminta dirinya. Terima kasih semesta telah menunjukkan siapa dia. Terima kasih telah memberi jawab atas ragu dan beberapa tanda tanya. Terima kasih telah memberi sempat untuk semakin kuat. Kali ini, aku tidak berkamuflase lagi. Apa yang kupikir, kutahu, hingga kini kulepas ternyata benar-benar memberi rasa lega.  Kali ini, aku tidak lagi mengasihani diri, apa yang kualami, apa yang kusesalkan, hingga kini mulai kuikhlaskan ternyata benar-benar memberi rasa bahagia. Salah satu strategi semesta, membiarkanku sedikit terluka agar lekas melupa. Semesta luar biasa dengan pelajarannya yang lebih luar biasa.